Semalam berkesempatan sinau bareng Mbah Nun dalam rutinan Kenduri Cinta yang bertajuk “Amenangi Zaman Now” alias menghadapi zaman sekarang.
.
Seperti biasanya, sholawatan menjadi “ritual” wajib yang pertama kali dilakukan di Maiyah untuk menghadirkam Kanjeng Nabi dalam forum tersebut, terlebih dalam hati masing-masing jama’ah.
.
Kemudian beberapa nomor dari Kiai Kanjeng mengalun. Jama’ah mulai merapat.
.
Menyikapi fenomena zaman now, kyai kanjeng coba menganalogikan dengan anak panah. Sebagaimana anak panah apabila ditarik mundur sejengkal, niscaya panah hanya akan jatuh tak jauh dari busurnya. Beda halnya apabila anak panah tersebut ditarik sehasta atau lebih kebelakang, maka panah akan melesat jauh kedepan. Demikian halnya dengan cara menyikapi zaman now. Diperlukan kemauan untuk belajar sejarah, belajar dari orang-orang terdahulu agar karakter Indonesia tetap terjaga.
.
Sepakat bahwasanya kemajuan zaman yang semakin modern, menuntut manusia terus berbenah, dinamis, dan luwes. Namun jangan sampai lupa akan karakter luhur bangsa yang kian lama kian pudar tergerus zaman. Zaman now malu untuk cium tangan guru, zaman now enggan bertanya kabar, zaman now sediki-sedikit marah, orang jawa zaman now buta bahasa jawa, zaman now sudah jarang lagi menghargai pendapat orang lain, zaman now lebih mementingkan kelompok masing-masing dan seterusnya. Realitas ini haruslah disikapi dengan kematangan berfikir dan keluasan hati.
.
Tidak pernah bosan Mbah Nun dhawuh bahwa kita adalah manusia merdeka, kita merdeka atas diri kita sendiri, perilaku kita sendiri, karna dirimulah yang bertanggungjawab penuh atas kehendakmu, alias bebas sebebas-bebasnya dengan catatan akal dan kedewasaanmu sebagai pagarnya. Singkat kata, barangkali yang harus digarisbawahi adalah bahwa tugasmu adalah mencintai semua makhluk di dunia ini.
.
Pesan Mbah Nun yang saya serap mungkin saja terdistorsi. Bisa jadi tinggal 70% , 50% atau bahkan salah sama sekali. Niat hati adalah ingin menularkan gelembung-gelembung cinta maiyah agar menjangkiti siapapun yang ingin dijangkiti.

Leave a comment