Kira-kira foto hasil afdruk an lawas Pak En ini diambil tahun 1999 sesaat setelah gejolak negeri ini terjadi, tahun 1998 rezim Orde Baru digulingkan kekuatan sporadis kaum muda yang mengagungkan namanya sebagai pahlawan reformasi.

Saat itu Kota Tulungagung, kota yang entah apakah orang istana sana tau apa tidak, yang pasti disini masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menjadi kota sunyi, yang hanya berhiaskan lampu kerdip dibeberapa rumah juragan tembakau. Memang disini tembakau menjadi komoditer utama, maklum sebagai daerah pedesaan, kami kaya akan sumber alam.

Rumah lain hanya terbuat dari “gedheg” ditambah temaramnya “ublik” semakin menambah kesenduan malam-malam di kotaku. Sesekali bapak mengajakku berkeliling ke kota menikmati gemerlapnya neon-box toko2 pakaian yang sedang laku keras kala itu, Apollo. Sebagai anak desa yang jarang melihat lampu, itu ibarat melihat pertunjukkan lampu menari di Opera House, Australia.

Sangat indah bukan, neon-box itu dikeheningan malam. Beberapa motor Yamaha-75 berseliweran pasang muda-mudi berambut ala Kasino dan Meriam Bellina nampaknya ke arah Alun-alun atau perempatan TT (Tulungagung Teather), mungkin mereka menonotn film Deru Campur Debu. Ahh kunikmati saja malam-malam itu bersama bapak yang sedari tadi mengayuh sepeda Phoenix tua tahun 70an.

Perkenalkan malaikat satu ini bernama Sugeng Priyono, kumis tipis dengan wajah khas pemuda lugu logat Jawa Timur-an ini kuakui seorang pekerja keras. Beliau yang tiap hari harus ke pasar Campudarat, atau Pasar Sore Lama, atau bahkan Pasar Hewan yang jaraknya puluhan kilometer untuk menunaikan tugasnya sebagai petugas penerimaan retribusi daerah.

Bersambung….

8.jpg
Aku, saat belia dan lucu

Leave a comment